PEMBERIAN KLINDAMISIN PADA STAPHYLOCOCCAL SCALDED SKIN SYNDROME ANAK
PEMBERIAN KLINDAMISIN PADA STAPHYLOCOCCAL SCALDED SKIN SYNDROME
ANAK
Pendahuluan
Staphylococcal
scalded skin syndrome
(SSSS) disebabkan
oleh toksin eksfoliatif yang diproduksi oleh sekitar 5% dari Staphylococcus aureus
(S. aureus).1, 2 Staphylococcus
aureus menghasilkan 2 toksin yang telah diketahui dapat menyebabkan
pengelupasan kulit yaitu exfoliatin type A dan B (ETA dan ETB). Exfoliatin
type A dan B menyebabkan terbentuknya vesikel, bula, dan terjadinya
pengelupasan kulit. Toksin ini berikatan dengan desmoglein-1 sehingga
fungsi adhesi antar sel menjadi berkurang. Staphylococcal scalded skin
syndrome sering terjadi pada anak dan neonatus,
hal ini karena sistem imun belum matang.1-5
Insidensi SSSS diperkirakan 0,009–0,56
kasus tiap satu juta penduduk, jumlah tersebut 10 kali lebih rendah
dibandingkan dengan nekrolisis epidermal toksik (NET). Insidensi pada anak
lebih tinggi yaitu 250 kasus tiap satu juta anak. Staphylococcal scalded skin
syndrome biasanya terjadi pada anak kurang dari
5 tahun dengan perbandingan laki-laki dan perempuan sama. Insidensi meningkat
pada musim panas dan musim gugur. Mortalitas SSSS pada anak 3,6–11%, jumlah
tersebut lebih rendah dibandingkan dewasa yang mencapai 40–63%.2
Lesi kulit SSSS berupa makula eritem yang
diikuti pengelupasan epidermal difus. Lokasi infeksi S. aureus biasanya pada kulit, mulut, hidung, tenggorok, umbilikus
dan saluran pencernaan. Gejala awal biasanya demam, anak tampak rewel, nyeri
pada kulit, edema wajah, konjunctivitis. Pada pemeriksaan didapatkan pengelupasan
kulit dengan Nikolsky sign positif.1
Tatalaksana pada SSSS adalah dengan
perawatan secara intensif, pemberian antibiotik sistemik, serta tatalaksana untuk
mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.1
Pemberian antibiotik sedini sangat penting dalam tatalaksana SSSS. Antibiotik
yang direkomendasikan adalah golongan penisilin yang resisten terhadap
penisilinase pada S. aureus sensitif
metisilin seperti oksasilin, dan kloksasilin. Pada pasien yang terdapat
hambatan dalam pemberiannya dapat diberikan golongan lain seperti klindamisin,
klaritromisin atau sefuroksim.2
Klindamisin telah diketahui memiliki aktivitas anti toksin.6
Pada
kasus ini akan disampaikan mengenai seorang anak laki-laki dengan Staphylococcal
scalded skin syndrome yang mendapat terapi
antibiotik kloksasilin dan klindamisin.
Ilustrasi Kasus
Seorang anak
laki-laki usia 9 bulan dirawat di Ruang Kenanga 1 Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin
sejak tanggal 3 April 2017 dengan keluhan kulit mengelupas. Sejak 4 hari
sebelum masuk rumah sakit kulit penderita mengelupas yang awalnya disekitar
mulut, hidung dan mata yang menyebar keseluruh wajah, leher, badan, tangan dan
kaki. Keluhan didahului kulit tampak bengkak, kemerahan dan melepuh. Keluhan
didahului dengan adanya panas badan yang mendadak tinggi, terus menerus, siang
sama dengan malam. Keluhan tidak disertai dengan batuk, pilek, sesak, keluar
cairan dari telinga, kejang ataupun penurunan kesadaran. Buang air besar dan
buang air kecil tidak ada keluhan.
Karena keluhannya penderita dibawa berobat
ke dokter pada 4 hari sebelum masuk rumah sakit, diberi obat penurun panas dan
obat alergi. Keluhan tidak membaik dan lesi kulit bertambah banyak. Penderita kemudian
dibawa ke Rumah Sakit Al Ihsan dan disarankan dirujuk ke Rumah Sakit Dr. Hasan
Sadikin. Penderita baru pertama kali sakit seperti ini. Riwayat keluhan serupa
di keluarga tidak ada. Riwayat alergi obat atau makanan tidak ada.
Pemeriksaan fisik penderita menunjukan,
keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran komposmentis, didapatkan
pengelupasan kulit. Tanda vital dalam batas normal, tidak demam ataupun sesak.
Status antropometri dalam batas normal. Status dermatologis tampak lesi
multipel berupa makula eritem, krusta dan skuama. Pemeriksaan Nikolsky sign positif. Pemeriksaan penunjang
darah rutin dalam batas normal dengan C-Reactive
Protein meningkat. Pemeriksaan swab dari erosi sekitar mulut didapatkan
kokus Gram positif. Penderita mendapat terapi antibiotik kloksasilin,
cetirizine, kompres terbuka dengan NaCl 0,9%, dekubal salep dan mupirosin
salep.
Selama pemantauan tidak didapatkan demam,
lesi kulit mengering, tidak bertambah luas, tidak ada lesi baru. Pada hari
perawatan ke-3, kloksasilin tidak tersedia, sehingga antibiotik diganti menjadi
klindamisin. Pada hari perawatan ke-5 lesi kulit sudah mengering, tidak
didapatkan lesi baru, kulit yang mengelupas sudah bersih. Diagnosis akhir Staphylococcal Skalded Skin Syndrome.
Formulasi
Pertanyaan Klinis
Permasalahan pada penderita ini adalah penderita dengan Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS)
dengan ketidaktersediaan kloksasilin, sehingga penelusuran jurnal ini ingin
mencari alternatif antibiotik yang digunakan pada penderita SSSS.
Masalah tersebut
selanjutnya dijabarkan dalam bentuk komponen PICO sebagai berikut:
P Patient/population
|
Anak
dengan Staphylococcal
Scalded Skin Syndrome
|
I Intervention/Indicator
|
Klindamisin
|
C Comparison/Control
|
Kloksasilin
|
O Outcome
|
Perbaikan
klinis
|
Penelusuran
Jurnal
Metode Penelusuran Jurnal
Prosedur pencarian literatur untuk menjawab masalah di atas adalah dengan
menelusuri kepustakaan secara online
dengan menggunakan instrumen pencari Pubmed Clinical Queries, Cochrane Library, dan Google Scholar.
Dalam metode pencarian juga mempertimbangkan alternatif terminologi, sinonim,
atau ejaan. menggunakan “AND”
untuk membatasi pencarian, dan “OR”
untuk memperluas pencarian.
KEYWORDS:
Pediatric OR children OR adolescence AND
Clindamycin AND Cloxacillin OR Oxacillin AND Staphylococcal Scalded Skin Syndrome
|
Systematic review Metaanalysis RCT Cross sectional Review
Pada penelusuran didapatkan 1 clinical study yang terdiri dari 1 review yang kemudian dilakukan tinjauan kritis (critical appraisal).
Tabel 1. Hasil Penelusuran Jurnal.
Tipe
|
Pubmed
Clinical Queries, Cochrane, Google Scholar
|
Artikel
|
Seluruh
artikel
|
No
filter
|
1
|
Systematic review
|
Systematic review (publication type)
|
-
|
RCT
|
Randomized controlled trial
(publication type)
|
-
|
Cross sectional
|
Cross sectional
|
-
|
Case Report
|
Case report (publication type)
|
-
|
Review
|
Review
|
1
|
Cohort
|
Cohort
|
-
|
KAJIAN KRITIS KEDOKTERAN BERBASIS BUKTI
ASPEK TERAPI
Hasil
penelusuran jurnal (1)7 (Level
of evidence 2a)
Antibiotic
Sensitivity and Resistance Patterns in Pediatric Staphylococcal Scalded Skin
Syndrome
Inbal Braunstein, Karolyn A. Wanat, Katrina Abuabara,
Karin L.McGowan, Albert C. Yan and James R. Treat
Pediatric Dermatology 2014;31(3): 305–8,
Abstrak: Pola resistensi sering membantu pemilihan antibiotik empiris pada staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS), tetapi sedikit yang diketahui sensitivitas antara SSSS dan infeksi stafilokokus lainnya
pada anak. Sebuah penelitian retrospektif mengulas hasil kultur
kasus SSSS rawat inap bagian
kulit di Rumah Sakit Anak
Philadelphia antara tahun 2005 dan 2011. Sebagian besar kasus SSSS pada
institusi kami disebabkan Staphylococcus aureus
sensitif oksasilin, dan sekitar
setengah dari kasus disebabkan oleh strain resisten klindamisin. Klindamisin dan penisilin
penisilinase resisten disarankan sebagai pengobatan empiris untuk SSSS sampai
data sensitivitas yang
tersedia untuk pemilihan terapi.
Apakah hasil dari studi tentang
aspek terapi ini valid ?
1.
Apakah alokasi
pasien terhadap terapi pada penelitian ini dilakukan secara acak? Apakah
daftar randomisasi ini disembunyikan (terhadap dokter yang terlibat dalam
penelitian, penentuan pasien secara random)? Apakah pada makalah tersebut
penjelasan pengambilan sampel secara acak dijelaskan secara rinci dan
lengkap?
|
Ya
|
2.
Apakah
pengamatan pasien dilakukan cukup panjang dan lengkap?
|
Ya
|
3.
Apakah semua
pasien dalam kelompok yang diacak,
dianalisis (bila drop out terlalu
besar, ≥20%, dilakukan intention to
treat analysis dengan mengambil skenario terburuk) ?
|
Ya
|
4.
Apakah pasien
dan dokter tetap blind dalam melakukan terapi yang diberikan?
|
Tidak
|
5.
Apakah semua
kelompok diperlakukan sama, selain dari terapi yang diuji?
|
Ya
|
6.
Apakah kelompok
terapi dan kontrol sama/mirip pada awal studi (biasanya ditunjukkan dalam
tampilan data dasar)?
|
Ya
|
Apakah bukti tentang aspek terapi yang
valid ini penting?
1.
Seberapa tepat
estimasi dari pengaruh terapi ?
Rentang
Kepercayaan (CI)%? Nilai P?
|
p<0,05
|
Apakah kita dapat menerapkan bukti tentang terapi yang valid dan penting ini kepada pasien kita?
1.
Apakah pada
pasien kita terdapat perbedaan bila dibanding dengan yang terdapat pada
penelitian sehingga hasil penelitian tersebut tidak dapat diterapkan pada
pasien kita ?
|
Ya
|
2.
Apakah terapi
tersebut mungkin dapat diterapkan pada pasien kita ?
|
Ya
|
3.
Apakah pasien
kita mempunyai potensi yang menguntungkan atau merugikan bila terapi tersebut
diterapkan?
|
Menguntungkan
|
Simpulan :
Valid, penting,
dapat diterapkan pada pasien kita
APLIKASI TERHADAP MASALAH KLINIS
Permasalahan
yang diangkat pada penderita ini adalah dapatkah klindamisin menjadi antibiotik
alternatif pada anak dengan SSSS yang tidak dapat diberikan kloksasilin karena alergi
ataupun tidak tersedia.
Staphylococcus
aureus sekitar 35% merupakan komensal pada saluran napas anak. Staphylococcus aureus dapat menjadi patogen
yang berbahaya yang bertanggung jawab atas berbagai penyakit pada manusia.6, 8 Staphylococcus aureus sering menyebabkan infeksi pada kulit, yang
terbanyak pada anak berupa impetigo yaitu sekitar 10% dari seluruh masalah pada
kulit.1, 9 Sekitar 5% S. aureus menghasilkan toksin
eksfoliatif dengan 2 serotip berbeda yang menyerang manusia yaitu expoliative toxin A dan B (ETA dan ETB).5, 9-11
Staphylococcal scalded skin syndrome disebabkan oleh strain Staphylococcus
aureus yang menghasilkan serine
protease exfoliate toxins yang menyebabkan lepasnya desmosom cadherin khususnya desmoglein 1 pada
lapisan superfisial epidermis.2, 8 Desmosom merupakan organela
sel yang bertanggung jawab terhadap adhesi antar sel. (Gambar.1)12 Lepasnya desmosom
menyebabkan desktruksi adhesi sel-sel dan pengelupasan kulit.2, 8
Anatomi
epidermis
|
Gambar
1. Anatomi Epidermis
Sumber: Mishra12
Staphylococcal scalded skin syndrome biasanya terjadi pada anak kurang dari 5 tahun dengan
perbandingan laki-laki dan perempuan sama. Angka kejadian meningkat pada musim
panas dan musim gugur. Terdapat 2 hipotesis yang menjelaskan insidensi SSSS
yang tinggi pada anak yaitu belum berkembangnya antibodi yang melawan toksin stafilokokus
atau ginjal yang belum mampu mengekskresikan toksin eksfoliatif.2, 9, 10
Tatalaksana memerlukan tatalaksana terpadu
di ruang intensif atau unit luka bakar.2 Tatalaksana
suportif seperti pemberian cairan dan elektrolit membantu pemulihan secara
cepat SSSS.12 Tatalaksana
yang baik dapat meminimalkan mortalitas dan kulit yang terkelupas akan mengalami
reepitelisasi dalam 6–12 hari tanpa disertai dengan skar.2, 3
Meskipun SSSS akan berlanjut hingga 24–48
jam setelah onset saat eksotoksin melalui sirkulasi hingga di netralisir oleh
antibodi atau di ekskresi oleh ginjal, namun penting pemberian antibiotik
sedini mungkin.2 Selain
untuk mengeradikasi kuman juga untuk mencegah infeksi sekunder.8 Antibiotik
yang direkomendasikan adalah golongan penisilin yang resisten terhadap
penisilinase pada S. aureus sensitif
metisilin. Contoh obat yang diberikan pada anak adalah flucloxacilin intravena
50–100mg/kg/hari dan untuk dewasa 500–1000mg per hari dibagi 4 dosis. 2
Perawatan dirumah sakit dibutuhkan SSSS karena
perlu diberikan antibiotik intravena. Antibiotik anti stafilokokus resisten
penisilinase seperti flukloksasilin.antibiotik oral juga dapat diberikan
setelah beberapa hari untuk mengganti antibiotik intravena. Setelah perawatan
6–7 hari antibiotik dilanjutkan hingga 15 hari.12 Pada pasien yang alergi penisilin dapat
diberikan kotrimoksazol, klindamisin, vankomisin, klaritromisin atau
sefuroksim.2, 13 Klindamisin diketahui memiliki
aktifitas menghambat translasi toksin.6
Li dkk, di China mencatat 39 neonatus yang
mengalami SSSS, dilakukan kultur dan sensitivitas didapatkan 8 pasien dengan
kultur positif S. aureus. Semua
sampel sensitif terhadap vankomisin, ciprofloksasin, gentamisin, dan oksasilin.
Namun didapatkan sampel yang resisten terhadap ampisilin (100%), penisilin
(100%), klindamisin (85,7%), eritomisin (85,7%), kotrimoksazol (37,5%), dan
amoksilin dengan asam klavulanat (6,25%).14 (level of evidence: 2b)
Penelitian yang dilakukan Chi dkk. di Taiwan yang mengisolasi S. aureus dari 16 anak (6 anak dengan staphylococcal toxic shock syndrome dan
10 anak dengan staphylococcal scalded
skin syndrome didapatkan 11 anak (68,8%) dengan methicillin-resistant S.
aureus (MRSA) yang
didapatkan dari komunitas. Semua isolat S. aureus yang sensitif terhadap vankomisin, gentamisin, doksisiklin, dan trimetoprim-sulfametoksazol. Sebagian besar isolat
resisten terhadap klindamisin (63%), oksasilin (69%), dan klaritromisin (81%).13(level of evidence: 2b)
Suatu review yang dilakukan Braustein dkk,
terdapat 21 pasien SSSS yang dilakukan kultur mengelompokan 8 anak yang
diterapi dengan klindamisin tunggal dengan kombinasi klindamisin dengan obat
lain diantaranya cefazolin dan vankomisin juga obat lainnya. Dari hasil
resistensi didapatkan 3 anak (14%) resisten oksasilin, 10 anak (48%) resisten
klindamisin dan 1 anak resisten terhadap klindamisin dan oksasilin. Sensitivitas
S. aureus pada pasien SSSS terhadap
oksasilin lebih tinggi dibandingkan hasil kultur S. aureus rumah sakit, sedangkan sensitivitas terhadap klindamisin
lebih rendah dibandingkan hasil kultur S.
aureus rumah sakit.7(level of evidence: 2a)
Siu dkk.
di Hongkong melaporkan satu kasus anak dengan SSSS yang dilakukan pemberian
antibiotik vankomisin dan klindamisin. Pemberian klindamisin intravena
ditujukan sebagai anti toksin. Pemberian vankomisin ditujukan untuk menggatasi
infeksi yang disebabkan oleh S. aureus
resisten metisilin. Pasien mengalami tidak mengalami perbaikan bahkan terjadi
komplikasi berupa pneumonia, sehingga antibiotic diganti menjadi kloksasilin.15
Klindamisin
pada berbagai penelitian di luar negeri menunjukan resistensi yang cukup tinggi
terhadap S. aureus. Mekanisme
resistensi S. aureus terhadap
klindamisin biasanya disebabkan oleh modifikasi dari sisi target yang
disebabkan oleh gen erm.16
Gen erm menghasilkan ribosom metilase yang menyebabkan terjadinya resistensi
terhadap klindamisin. Mekanisme lain yang menyebabkan S. aureus resisten terhadap klindamisin adalah peningkatan
aktivitas pompa efluks.13, 17
Data
sensitivitas berdasarkan kultur dan resistensi membantu penentuan antibiotik
yang diberikan, namun pada awal terapi biasanya belum tersedia. Pemberian
terapi empirik diberikan berdasarkan
beberapa pertimbangan diantaranya mikroorganisme, kondisi pasien, efek samping,
resistensi dan biaya.18 Berdasarkan
catatan pola kuman dan resistensi antibiotik di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin
pada semester 2 tahun 2014 tercatat sensitivitas S. aureus terhadap berbagai antibiotik adalah klindamisin (88%),
eritromisin (88%), cefaleksin (71%) dan ciprofloksasin (82%).19
ANALISIS LUARAN
Penderita
ini telah mendapat terapi antibiotik kloksasilin intravena selama 2 hari
kemudian karena tidak tersedia antibiotik diganti menjadi klindamisin per oral.
Pada pemantauan klinis hari perawatan ke-5 lesi kulit sudah mengering,
tidak didapatkan lesi baru, kulit yang mengelupas sudah bersih dan krusta sudah
mengering.
Penderita mendapat terapi antibiotik
empiris klindamisin berdasarkan pola resistensi S. aureus di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin. Hal ini berbeda dengan
studi di beberapa negara yang menyatakan S.
aureus memiliki resistensi terhadap klindamisin.
SIMPULAN
Pada EBCR ini
dilaporkan kasus Staphylococcal scalded skin syndrome pada
seorang anak laki-laki usia 9 bulan. Penderita telah mendapat kloksasilin
kemudian di ganti dengan klindamisin, didapatkan hasil yang baik. Berbagai
studi menunjukan S. aureus resisten
terhadap klindamisin, namun pemilihan antibiotik untuk tatalaksana sebaiknya
berdasarkan peta kuman dan resistensi yang ada.
Daftar Pustaka
Komentar
Posting Komentar