TATALAKSANA HENOCH SCHONLEIN PURPURA
PENDAHULUAN
Henoch-Schonlein purpura (HSP)
adalah vaskulitis leukositoklastik pembuluh darah kecil diperantarai oleh
imunoglobulin A (IgA) terutama menyerang kulit, sendi, ginjal dan
gastrointestinal. Manifestasi klinis utama HSP adalah purpura tanpa
trombositopenia, dengan distribusi bilateral pada kedua ekstremitas bawah,
nyeri abdomen, perdarahan gastrointestinal, artritis atau artralgia, hematuria
atau proteinuria.1, 2
Insidensi HSP pada 25 tahun terakhir dilaporkan mencapai 3 sampai
26,7/100.000 di dunia pada anak, sedangkan pada dewasa insidensi pertahun nya
0.8-1.8/100.000. Hal ini mengindikasikan kejadian HSP pada anak 2–33 kali lebih
sering pada anak dibandingkan dewasa. Laporan mengenai insidensi HSP kebanyakan
dilakukan berdasarkan data di rumah sakit, karena itu data kejadian HSP yang
tidak dirawat di rumah sakit belum diketahui pasti. Penelitian di Taiwan menyebutkan
sekitar 60% anak dengan HSP tidak di rawat di Rumah Sakit.1
Tatalaksana HSP meliputi terapi suportif, simtomatik, dan pada beberapa
kasus membutuhkan terapi imunosupresif. Penggunaan glukokortikoid pada HSP
masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Pemberian glukokortikoid sejak awal
diharapkan mengurangi durasi nyeri abdomen, menurunkan risiko intususepsi, dan
mencegah terjadi nefritis, namun pendapat lain tidak menyarankan terapi
glukokortikoid karena HSP adalah penyakit yang dapat sembuh sendiri sehingga
terapi glukokortikoid tidak ada manfaatnya.3
DEFINISI
Henoch-schonlein purpura atau anaphylactoid
purpura atau purpura
rheumatica adalah
vaskulitis leukositoklastik yang ditandai adanya deposisi IgA pada pembuluh
darah kecil di kulit, sendi, saluran gastrointestinal dan ginjal.4
ETIOLOGI
Faktor pemicu terjadinya HSP antara
lain infeksi saluran napas atas, obat-obatan, vaksinasi, alergi makanan, dan
toksin.1, 5 Infeksi saluran pernapasan atas
merupakan faktor utama pemicu terjadinya HSP bakteri streptokokus, stafilokokus
dan virus parainfluenza merupakan agen penyebab infeksi saluran napas atas yang
menjadi pemicu terjadinya HSP. Vaksinasi dan penggunaan obat juga diduga dapat
menjadi pemicu terjadinya HSP. Obat yang berhubungan dengan HSP antara lain
penisilin, ampisilin, dan eritromisin. Vaksinasi yang berhubungan dengan HSP
antara lain hepatitis B, influenza (H1N1), dan meningitis.1, 3, 6 Faktor genetik juga berperan
terhadap terjadi HSP, beberapa gen yang diduga terlibat antara lain HLA-DRB*01,
HLA-DRB1*11, HLA-B35 dan HLA-A11.1
PATOFISIOLOGI
Patogenesis HSP hingga kini masih
belum diketahui secara pasti, pada HSP terjadi vaskulitis leukositoklastik di
pembuluh darah kecil yang diperantarai oleh kompleks imun, di tandai oleh
adanya IgA. Produksi IgA terjadi akibat adanya antigen yang menstimulasi
beberapa jalur sehingga menyebabkan vaskulitis. Jumlah sel yang menghasilkan
IgA hanya meningkat pada HSP tetapi tidak meningkat pada penyakit vaskulitis
lain, sel penghasil IgA meningkat sekitar 2 minggu setelah onset penyakit.7
Imunoglobulin A merupakan molekul
heterogen, terdapat 2 subkelas IgA yaitu IgA1 dan IgA2. IgA1 adalah subkelas
dominan, terdapat pada 80−90% IgA. Imunoglobulin A1 memiliki regio hinge pada rantai panjang dengan 5 sampai
6 tempat glikosilisasi O-linked , tetapi IgA2 tidak memiliki region ini. Regio hinge ini terdiri dari β-1
N-Asetilgalaktosamin (GaLNAc) dan 3-linked galaktosa (Gal) yang menempel pada
GaLNac. Pada HSP terjadi glikosilasi abnormal pada regio hinge IgA1.7
Antigen dan antibodi kompleks IgA terbentuk dari stimulasi infeksi
virus, bakteri, vaksinasi, obat-obatan dan mekanisme autoimun. Antigen-antibodi
kompleks ini kemudian berdeposit pada pembuluh darah kecil dan mengaktifkan
sistem komplemen dan sitokin-sitokin sehingga terjadi akumulasi neutrofil
mengakibatkan reaksi inflamasi dan vaskulitis. Aktivasi komplemen diperkirakan
menjadi faktor penting terjadinya kerusakan jaringan pada HSP. Komponen
komplemen pada kulit, glomerulus atau produk komplemen ditemukan pada pasien
HSP.7
Aktivasi sitokin Sel Th 17, subset baru dari sel T -helper, juga memiliki peran terhadap
perkembangan penyakit autoimun melalui produksi sitokin seperti IL–6 dan IL–17.
Interleukin 17 adalah sitokin inflamasi yang meningkatkan ekspresi kemokin dan
sitokin inflamasi lain. CD4*CD25 sel Treg, berperan dalam mencegah terjadinya
autoimun dan penyakit inflamasi. Pada pasien HSP ditemukan terjadi peningkatan
IL-17 dan penurunan konsentrasi CD4*CD25 sel Treg. Adanya ketidakseimbangan ini
diperkirakan berperan pada terjadinya HSP dan progresivitas penyakitnya.7
Sitokin lain yang juga diketahui berperan pada terjadinya HSP dan
nefritis HSP adalah TNF-α. TNF-α merupakan sitokin proinflamasi yang dapat
diproduksi berbagai sel, termasuk monosit atau makrofag, memfasilitasi
pelepasan faktor pertumbuhan dan kemokin seperti IL-1β, monosit kemoatraktan
protein-1 dan TGF-β sehingga inflamasi terjadi makin berat.7
Vaskulitis dapat terjadi pada multiorgan diantaranya kulit, saluran
gastrointestinal, ginjal, dan sendi. Vaskulitis mengakibatkan ekstravasasi
darah ke ruang interstitial sehingga terjadi edema dan perdarahan. Vaskulitis
di kulit terjadi pada bagian dermis, kemudian menyebabkan purpura palpabel,
deposit antigen-antibodi kompleks pada pembuluh darah di saluran cerna akan
mengakibatkan perdarahan saluran cerna. Deposit antigen-antibodi kompleks pada
ginjal terjadi pada glomerulus, kemudian menyebabkan nefritis pada ginjal.8
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis vaskulitis
sistemik melibatkan multiorgan, manifestasi klinis yang klasik yaitu muncul
pada kulit, sendi, gastrointestinal, dan ginjal.1
Kulit
Manifestasi kulit ada pada seluruh
pasien HSP. Ptekie dan purpura palpabel merupakan bentuk yang paling sering.
Manifestasi kulit lainnya dapat berupa makula eritema, urtikaria atau bulla.
Purpura pada HSP dicirikan dengan distribusi simetris di bagian ektremitas
bawah, pada bagian-bagian yang mendapat tekanan seperti lengan belakang, dan
bokong, namun dapat juga terjadi pada ekstremitas atas.8
Sendi
Artritis atau artralgia ada pada 75%
kasus HSP. Sendi yang terlibat biasanya oligoartikular pada sendi besar di
ekstremitas bawah seperti lutut, dan pinggang yang bersifat berpindah-pindah.
Artritis yang muncul tidak menyebabkan deformitas dan sembuh dalam beberapa
hari tanpa kerusakan kronis.3
Gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal ada
pada 50–75 % pasien HSP. Gejala yang muncul yaitu nyeri kolik abdomen yang
ringan hingga berat, muntah dan perdarahan gastrointestinal. Hematemesis dan
melena dapat terjadi pada 30% pasien. Intususepsi dapat terjadi akibat hematoma
pada daerah ileoileal.3, 9, 10
Ginjal
Manifestasi klinis pada ginjal
berupa hematuria mikroskopis, yang banyak terjadi pada 4 minggu setelah onset
penyakit. Gangguan ginjal yang terjadi dapat berupa sindrom nefrotik– nefritik,
sindrom nefritik, sindrom nefrotik, proteinuria berat tanpa nefrotik, dan
minimal hematuria atau proteinuria. Gangguan ginjal terjadi pada 20–55% kasus
HSP. Nefritis HSP dapat menjadi gagal ginjal kronik setelah 20 tahun pada 20%
anak. Gejala-gejala yang dapat dijadikan faktor prognostik terjadinya gagal
ginjal kronis di kemudian hari, yaitu; gejala awal manifestasi ginjal, laju
filtrasi glomerulus setelah 3 tahun, dan proteinuria selama pemantauan. Biopsi
ginjal sebaiknya dilakukan untuk menggambarkan kondisi histopatologis dan
menentukan prognosis. Nefritis HSP merupakan komplikasi yang berat pada HSP
karena dapat menyebabkan kematian.3, 11
Paru–paru
Keterlibatan paru–paru pada HSP
merupakan kasus yang jarang. Manifestasi klinis HSP pada paru dapat berupa
perdarahan alveolar difus atau pnemonitis interstitial. Prevalensi perdarahan
alveolar difus antara 0.8% sampai 5% kasus HSP. Gejala perdarahan alveolar
berupa hemoptysis, anemia, dan gambaran radiologi berupa infiltrat atau efusi
pleura. Sekitar 27% pasien HSP dengan perdarahan alveolar meninggal.13, 14
Sistem
saraf pusat
Vaskulitis pada HSP dapat terjadi
pada sistem saraf pusat, gejala yang muncul adalah kejang atau ensefalopati
dengan menyingkirkan penyebab lain.3
Skrotum
Pada laki – laki vaskulitis pada
skrotum ditandai dengan gejala inflamasi seperti bengkak, nyeri dan kemerahan,
kemudian terjadi torsio testis.15
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium yang
direkomendasikan pada evaluasi derajat beratnya HSP adalah darah rutin, hitung
jenis leukosit, laju endap darah, C-reaktif protein (CRP), urinalisis, dan
feses darah samar. Hasil pemeriksaan laboratorium yang biasanya didapatkan
yaitu leukositosis, trombositosis, anemia ringan serta peningkatan laju endap
darah dan CRP. Feses darah samar biasanya positif pada beberapa kasus.
Pemeriksaan serum IgA tidak rutin dilakukan karena hasil yang tidak spesifik,
peningkatan serum IgA tidak ditemukan pada seluruh pasien HSP. Pemeriksaan
penunjang ultrasonografi ataupun barium enema untuk mencari adanya intususepsi
diindikasikan pada pasien dengan keluhan nyeri perut atau perdarahan saluran
cerna. Pada pemeriksaan ultrasonografi dapat ditemukan target sign sebagai tanda intususepsi, pada
pemeriksaan barium enema dapat diketahui lokasi perdarahan gastrointestinal.
Biopsi kulit dan biopsi ginjal merupakan pemeriksaan penting untuk diagnosis
HSP, terutama pada kasus atipikal atau kasus berat. Hasil biopsi akan
menunjukkan deposisi IgA pada jaringan yang terkena. Deposisi IgA pada kulit
dapat ditemukan jika biopsy dilakukan 48 jam saat onset penyakit. Gambaran
histopatologis biopsi kulit dicirikan dengan infiltrasi neutrofilik pada
lapisan atas dan tengah dermis dengan deposisi IgA.3, 4, 16
DIAGNOSIS
Diagnosis HSP dapat ditegakkan
secara klinis, pada tahun 1990 American College of Rheumatology membuat klasifikasi kriteria
diagnosis yaitu: onset penyakit usia kurang dari 20 tahun, purpura palpabel, nyeri
perut, dan biopsi yang menunjukkan adanya granulosit pada dinding arteri atau vena.
Sensitivitas dan spesifisitas kriteria ini adalah 87,1% dan 87,7%. Pada tahun 2005 Pediatric
Rhematology European Society (PRES) membuat klasifikasi baru berdasarkan ulasan literatur
namun belum tervalidasi.17
Pada tahun 2008 European League Against Rheumatism dan PRES membuat kriteria diagnosis
dengan sensitivitas 100% dan spesifisitas 87%. Kriteria diagnosis ini yaitu;
adanya purpura atau ptekia non trombositopenia dengan lokasi predominan di
ekstrimitas bawah disertai minimal satu atau lebih gejala berikut:17
1. Nyeri abdomen difus didefinisikan
sebagai nyeri bersifat kolik dan difus dengan onset akut berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik
2. Biopsi menunjukkan deposit IgA. Gambaran
histopatologi menunjukkan vaskulitis leukositoklastik dengan dominan deposit
IgA pada kulit atau glomerulonefritis proliferatif dominan deposit IgA
3. Artritis (akut, pada sendi apapun)
atau atralgia. Artritis dapat berupa pembengkakaan sendi atau nyeri sendi
dengan gerak terbatas. Atralgia berupa adanya nyeri sendi tanpa ada
pembengkakan atau keterbatasan gerak.
4. Keterlibatan ginjal (hematuria atau
proteinuria). Urinalisis menunjukkan protenuria >0,3 g/24 jam atau rasio
albumin/kretanin >30 mmol/mg ada urin pagi hari. Hematuria atau sel darah
merah >5/lpb atau dipstik > +2 pada dipstik.
TATALAKSANA
Tatalaksana HSP meliputi terapi
suportif, terapi simptomatik dan pada beberapa kasus memerlukan terapi
imunosupresif walaupun sebagian besar HSP dapat sembuh sendiri, dengan waktu
resolusi 4-6 minggu. Sepertiga pasien mengalami rekurensi atau relaps. Prinsip
utama terapi suportif adalah pemberian hidrasi, mengurangi rasa nyeri dan
pemantuan terjadinya komplikasi. 3 Perawatan di rumah sakit diperlukan jika
pemantauan melalui rawat jalan tidak dapat dilakukan, hidrasi tidak dapat
diberikan secara oral atau pasien mengalami dehidrasi, perdarahan, gejala
penurunan fungsi ginjal atau kontrol nyeri membutuhkan perawatan di rumah
sakit. Pemantauan saat pasien sudah diperbolehkan pulang dilakukan setiap
minggu pada bulan pertama, setiap 2 minggu pada bulan kedua, kemudian setiap
bulan pada bulan ke 3 hingga gejala hilang.18, 19
Tatalaksana
Manifestasi Klinis HSP Pada Kulit
Prednison dengan dosis 1 mg/kg
selama 2 minggu kemudian di tapering off 2 minggu berikutnya diberikan pada pasien dengan manifestasi
kulit dan arthritis dilaporkan dapat memberikan perbaikan klinis dibandingkan
pasien yang hanya mendapat plasebo. Pemberian prednison harus diberikan
hati-hati dengan mengukur efek samping prednison. Prednison dapat menurunkan
gejala purpura dalam 1 bulan setelah onset serta menurunkan derajat dan durasi
nyeri sendi.20
Pada kasus manifestasi kulit yang persisten lebih dari 12 bulan atau
lebih, pemberian dapson 2 mg/kgbb dilaporkan efektif tatalaksana purpura
persisten.21 Dapson diberikan hingga didapatkan
perbaikan dari manifestasi kulit. Pada kasus manifestasi kulit berat yaitu
purpura disertai bulla, pemberian metilprednisolon pulse 20 mg/kgbb selama 3 hari
berturut-turut dilanjutkan azatioprin 2,5 mg/kgbb efektif untuk mengatasi
manifestasi kulit berat.22
Tatalaksana
Manifestasi Klinis HSP Pada Sendi
Artritis atau atralgia berespon baik
terhadap pemberian obat-obatan anti inflamasi non steroid atau asetaminofen. Pemberian
anti inflamasi non steroid membutuhkan pemantauan yang baik, karena pemberian
obat–obatan anti inflamasi non steroid meningkatkan risiko terjadinya
perdarahan gastrointestinal. Pasien dengan fungsi ginjal menurun membutuhkan
evaluasi ketat terhadap penggunaan obat-obatan antiinflamasi non steroid.3 Obat anti inflamasi non steroid yang dapat
diberikan yaitu ibuprofen 4-10 mg/kg setiap 4-6 jam dengan dosis maksimal 40
mg/kg/hari. Asetaminofen yang diberikan yaitu parasetamol 10-15 mg/kg setiap
4-6 jam dengan dosis maksimal 90 mg/kg/hari.3
Tatalaksana
Manifestasi Klinis HSP Pada Gastrointestinal
Penggunaan glukokortikoid untuk
mengurangi durasi nyeri abdomen dan menurunkan risiko intususepsi masih menjadi
perdebatan. Sebuah kajian sistematik melaporkan pemberian prednison 1−2 mg/kgBB
efektif mengurangi nyeri dalam 24 jam setelah pemberian prednison. Pada kasus
dengan manifestasi gastrointestinal berat seperti adanya nyeri perut hebat
pemberian metiprednisolon dosis tinggi (30 mg/kgbb/hari, maksimal 1 gram)
secara intravena selama 3 hari berturut-turut, dilaporkan dapat mengurangi
gejala nyeri perut dan memberikan luaran baik pada pasien HSP dengan manifestasi
gastrointestinal berat.23
Penggunaan glukokortikoid sejak awal di rumah sakit memberikan luaran
yang baik terutama pada manifestasi gastrointestinal HSP.24
Pada perdarahan gastrointestinal yang berat pilihan terapi seperti
intravena imunoglobulin, mikofenolat mofetil ataupun rituximab dapat
dipertimbangkan karena telah dilaporkan efektif pada kasus dengan perdarahan
gastrointestinal berat. Rituximab dapat diberikan dengan dosis 1 gram secara
intravena sebanyak 2 kali dalam 2 minggu. Pemberian golongan opioid seperti
morfin atau petidin dapat dipertimbangkan terhadap kasus berat dengan
manifestasi nyeri perut hebat.23 Pasien dengan nyeri perut hebat
membutuhkan evaluasi dan investigasi mendalam untuk mencari tanda-tanda
intususepsi.3
Tatalaksana Manifestasi Klinis HSP
Pada Paru-Paru
Tatalaksana keterlibatan
interstitial pulmonal atau perdarahan alveolar belum ada pedoman khusus,
laporan-laporan kasus yang ada terapi pada keterlibatan paru yang dapat
diberikan adalah metilprednisolon pulse selama 3 hari berturut-turut
dilanjutkan siklofosfamid oral ataupun intravena.3
Tatalaksana Manifestasi Klinis HSP
Pada Ginjal
Pedoman terapi nefritis HSP dari Kidney Disease
Improving Global Outcomes (KDIGO)
menyebutkan pasien nefritis HSP dengan proteinuria persisten >0.5–1 gr/hari
per 1.73m2 mendapat terapi angiotensin converting enzyme –
inhibitors (ACE-I)
atau angiotensin reseptor blocker (ARB). Pasien-pasien yang telah
mendapat ACE–I atau ARB dengan laju filtrasi glomerulus >50 cc/menit per
1.73m2 mendapat terapi sama dengan nefropati imunoglobulin A yaitu
kortikosteroid selama 6 bulan. Regimen korikosteroid yang direkomendasikan oleh
KDIGO ada 2 macam yaitu :25
1. Bolus 1 gram metilprednisolon selama
3 hari berturut-turut pada bulan 1, 3, dan 5 dilanjutkan steroid oral 0.5 mg/kg
prednison dosis alternatif selama 6 bulan.
2. Oral prednison selama 6 bulan
dimulai dengan 0.8–1 mg/kg/hari selama 2 bulan dan diturunkan 0.2 mg/kg/ hari
setiap bulan selama 6 bulan. Terapi pada nefrtitis HSP dengan hasil biopsi
ginjal tipe kresenterik, sindroma nefrotik dan atau penurunan fungsi ginjal
mendapat terapi yang sama seperti nefropati immunoglobulin A yaitu pemberian
steroid dan siklofosfamid.
Regimen siklofosfamid yang dapat
diberikan adalah :25
1. Siklofosfamid intravena 0,75 gram/m
2 setiap 3–4 minggu. Dosis diturunkan hingga 0.5 gram/m 2 atau GFR < 20 cc/menit
per 1.73 m 2 , dosis disesuaikan hingga jumlah lekosit >3000/mm 3 atau
Siklofosfamid intravena 15 mg/kg setiap 2 minggu untuk 3 kali , kemudian 15 mg/kg setiap 3 minggu
hingga 3 bulan setelah remisi, diberikan bersama metilprednisolon pulse dan oral prednison.
2. Siklofosfamid oral 1,5–2 mg/kg/hari
. Dosis diturunkan hingga 0.5 gram/m 2 atau GFR <20 cc/menit per 1.73 m 2 ,
dosis disesuaikan hingga jumlah lekosit >3000/mm 3, diberikan bersama
metilprednisolon pulse dan oral prednison.
3. Rituximab 375mg/m 2 setiap minggu
sebanyak 4 kali, diberikan bersama metilprednisolon pulse dan oral prednison. KDIGO tidak
merekomendasikan penggunaan kortikosteroid untuk mencegah nefritis HSP, sebuah
ulasan dari Cohcrane menemukan tidak ada perbedaan yang signifikan pada penyakit
ginjal persisten (mikroskopis hematuria, proteinuria, hipertensi, dan penurunan
fungsi ginjal) yang mendapat terapi prednison selama 2–4 minggu dibandingkan
dengan plasebo. Tidak ditemukan perbedaan signifikan pada risiko terjadinya
penyakit ginjal pada bulan ke 6 dan bulan ke 12.
Plasmafaresis diindikasikan pada pasien dengan glomerulonefritis
progresif cepat, walaupun efektifitas terapi ini sulit dinilai karena pasien
juga mendapat terapi imunosupresif. Pemberian siklosporin A pada nefritis HSP
telah terbukti efektif untuk mempercepat remisi proteinuria dan hasil yang
membaik pada biopsi ginjal. Terapi lain yang juga efektif adalah pemberian
dengan imunoglobulin intravena, terapi kombinasi antara imunosupresif dengan terapi
antiplatelet seperti warfarin, dipiridamol, dan asam salisilat, tindakan
tonsilektomi, deplesi sel B dengan rituximab dan mikofenolat mofetil.3
PROGNOSIS
Henoch-Schonlein Purpura adalah
penyakit yang dapat sembuh sendiri dalam jangka waktu 1 bulan, pada kasus yang
ringan hanya membutuhkan terapi suportif. Sekitar 1/3 pasien mengalami
rekurensi pada 4 bulan kemudian. Rekurensi lebih sering pada anak usia lebih
dari 8 tahun. Pasien HSP ringan dapat ditangani di pelayanan primer oleh dokter
umum ataupun dokter spesialis anak. Pasien dengan diagnosis nefritis HSP
membutuhkan rujukan ke nefrologis pediatrik sekitar 6–12 bulan setelah
diagnosis nefritis HSP. Sekitar 2–20% pasien HSP berkembang menjadi penyakit
ginjal permanen.3, 11
SIMPULAN
Henoch-schonlein purpura merupakan
vaskulitis pada pembuluh darah kecil yang diperantarai oleh IgA. Insidensi nya
lebih banyak pada anak daripada dewasa. Penyakit ini dapat sembuh sendiri pada
sebagian besar kasus, namun pada komplikasi yang berat dapat menyebabkan
kematian. Tatalaksana paripurna diperlukan untuk mencegah remisi di kemudian
hari.
DAFTAR
PUSTAKA
15. Reid-Adam J. Henoch Schonlein Purpura. Ped
in Rev. 2014;35(10).
19. Scheinfeld N. Henoch-Schonlein purpura
treatment and management. 2014;
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/984105-treatment#d1
Komentar
Posting Komentar