TATALAKSANA HENOCH SCHONLEIN PURPURA

PENDAHULUAN

Henoch-Schonlein purpura (HSP) adalah vaskulitis leukositoklastik pembuluh darah kecil diperantarai oleh imunoglobulin A (IgA) terutama menyerang kulit, sendi, ginjal dan gastrointestinal. Manifestasi klinis utama HSP adalah purpura tanpa trombositopenia, dengan distribusi bilateral pada kedua ekstremitas bawah, nyeri abdomen, perdarahan gastrointestinal, artritis atau artralgia, hematuria atau proteinuria.1, 2

     Insidensi HSP pada 25 tahun terakhir dilaporkan mencapai 3 sampai 26,7/100.000 di dunia pada anak, sedangkan pada dewasa insidensi pertahun nya 0.8-1.8/100.000. Hal ini mengindikasikan kejadian HSP pada anak 2–33 kali lebih sering pada anak dibandingkan dewasa. Laporan mengenai insidensi HSP kebanyakan dilakukan berdasarkan data di rumah sakit, karena itu data kejadian HSP yang tidak dirawat di rumah sakit belum diketahui pasti. Penelitian di Taiwan menyebutkan sekitar 60% anak dengan HSP tidak di rawat di Rumah Sakit.1

     Tatalaksana HSP meliputi terapi suportif, simtomatik, dan pada beberapa kasus membutuhkan terapi imunosupresif. Penggunaan glukokortikoid pada HSP masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Pemberian glukokortikoid sejak awal diharapkan mengurangi durasi nyeri abdomen, menurunkan risiko intususepsi, dan mencegah terjadi nefritis, namun pendapat lain tidak menyarankan terapi glukokortikoid karena HSP adalah penyakit yang dapat sembuh sendiri sehingga terapi glukokortikoid tidak ada manfaatnya.3

 

DEFINISI

Henoch-schonlein purpura atau anaphylactoid purpura atau purpura rheumatica adalah vaskulitis leukositoklastik yang ditandai adanya deposisi IgA pada pembuluh darah kecil di kulit, sendi, saluran gastrointestinal dan ginjal.4

 

ETIOLOGI

Faktor pemicu terjadinya HSP antara lain infeksi saluran napas atas, obat-obatan, vaksinasi, alergi makanan, dan toksin.1, 5 Infeksi saluran pernapasan atas merupakan faktor utama pemicu terjadinya HSP bakteri streptokokus, stafilokokus dan virus parainfluenza merupakan agen penyebab infeksi saluran napas atas yang menjadi pemicu terjadinya HSP. Vaksinasi dan penggunaan obat juga diduga dapat menjadi pemicu terjadinya HSP. Obat yang berhubungan dengan HSP antara lain penisilin, ampisilin, dan eritromisin. Vaksinasi yang berhubungan dengan HSP antara lain hepatitis B, influenza (H1N1), dan meningitis.1, 3, 6 Faktor genetik juga berperan terhadap terjadi HSP, beberapa gen yang diduga terlibat antara lain HLA-DRB*01, HLA-DRB1*11, HLA-B35 dan HLA-A11.1

 

PATOFISIOLOGI

Patogenesis HSP hingga kini masih belum diketahui secara pasti, pada HSP terjadi vaskulitis leukositoklastik di pembuluh darah kecil yang diperantarai oleh kompleks imun, di tandai oleh adanya IgA. Produksi IgA terjadi akibat adanya antigen yang menstimulasi beberapa jalur sehingga menyebabkan vaskulitis. Jumlah sel yang menghasilkan IgA hanya meningkat pada HSP tetapi tidak meningkat pada penyakit vaskulitis lain, sel penghasil IgA meningkat sekitar 2 minggu setelah onset penyakit.7

     Imunoglobulin A merupakan  molekul heterogen, terdapat 2 subkelas IgA yaitu IgA1 dan IgA2. IgA1 adalah subkelas dominan, terdapat pada 80−90% IgA. Imunoglobulin A1 memiliki regio hinge pada rantai panjang dengan 5 sampai 6 tempat glikosilisasi O-linked , tetapi IgA2 tidak memiliki region ini. Regio hinge ini terdiri dari β-1 N-Asetilgalaktosamin (GaLNAc) dan 3-linked galaktosa (Gal) yang menempel pada GaLNac. Pada HSP terjadi glikosilasi abnormal pada regio hinge IgA1.7

     Antigen dan antibodi kompleks IgA terbentuk dari stimulasi infeksi virus, bakteri, vaksinasi, obat-obatan dan mekanisme autoimun. Antigen-antibodi kompleks ini kemudian berdeposit pada pembuluh darah kecil dan mengaktifkan sistem komplemen dan sitokin-sitokin sehingga terjadi akumulasi neutrofil mengakibatkan reaksi inflamasi dan vaskulitis. Aktivasi komplemen diperkirakan menjadi faktor penting terjadinya kerusakan jaringan pada HSP. Komponen komplemen pada kulit, glomerulus atau produk komplemen ditemukan pada pasien HSP.7

     Aktivasi sitokin Sel Th 17, subset baru dari sel T -helper, juga memiliki peran terhadap perkembangan penyakit autoimun melalui produksi sitokin seperti IL–6 dan IL–17. Interleukin 17 adalah sitokin inflamasi yang meningkatkan ekspresi kemokin dan sitokin inflamasi lain. CD4*CD25 sel Treg, berperan dalam mencegah terjadinya autoimun dan penyakit inflamasi. Pada pasien HSP ditemukan terjadi peningkatan IL-17 dan penurunan konsentrasi CD4*CD25 sel Treg. Adanya ketidakseimbangan ini diperkirakan berperan pada terjadinya HSP dan progresivitas penyakitnya.7

     Sitokin lain yang juga diketahui berperan pada terjadinya HSP dan nefritis HSP adalah TNF-α. TNF-α merupakan sitokin proinflamasi yang dapat diproduksi berbagai sel, termasuk monosit atau makrofag, memfasilitasi pelepasan faktor pertumbuhan dan kemokin seperti IL-1β, monosit kemoatraktan protein-1 dan TGF-β sehingga inflamasi terjadi makin berat.7

     Vaskulitis dapat terjadi pada multiorgan diantaranya kulit, saluran gastrointestinal, ginjal, dan sendi. Vaskulitis mengakibatkan ekstravasasi darah ke ruang interstitial sehingga terjadi edema dan perdarahan. Vaskulitis di kulit terjadi pada bagian dermis, kemudian menyebabkan purpura palpabel, deposit antigen-antibodi kompleks pada pembuluh darah di saluran cerna akan mengakibatkan perdarahan saluran cerna. Deposit antigen-antibodi kompleks pada ginjal terjadi pada glomerulus, kemudian menyebabkan nefritis pada ginjal.8

 

MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis vaskulitis sistemik melibatkan multiorgan, manifestasi klinis yang klasik yaitu muncul pada kulit, sendi, gastrointestinal, dan ginjal.1

Kulit

Manifestasi kulit ada pada seluruh pasien HSP. Ptekie dan purpura palpabel merupakan bentuk yang paling sering. Manifestasi kulit lainnya dapat berupa makula eritema, urtikaria atau bulla. Purpura pada HSP dicirikan dengan distribusi simetris di bagian ektremitas bawah, pada bagian-bagian yang mendapat tekanan seperti lengan belakang, dan bokong, namun dapat juga terjadi pada ekstremitas atas.8

Sendi

Artritis atau artralgia ada pada 75% kasus HSP. Sendi yang terlibat biasanya oligoartikular pada sendi besar di ekstremitas bawah seperti lutut, dan pinggang yang bersifat berpindah-pindah. Artritis yang muncul tidak menyebabkan deformitas dan sembuh dalam beberapa hari tanpa kerusakan kronis.3

Gastrointestinal

Manifestasi gastrointestinal ada pada 50–75 % pasien HSP. Gejala yang muncul yaitu nyeri kolik abdomen yang ringan hingga berat, muntah dan perdarahan gastrointestinal. Hematemesis dan melena dapat terjadi pada 30% pasien. Intususepsi dapat terjadi akibat hematoma pada daerah ileoileal.3, 9, 10

Ginjal

Manifestasi klinis pada ginjal berupa hematuria mikroskopis, yang banyak terjadi pada 4 minggu setelah onset penyakit. Gangguan ginjal yang terjadi dapat berupa sindrom nefrotik– nefritik, sindrom nefritik, sindrom nefrotik, proteinuria berat tanpa nefrotik, dan minimal hematuria atau proteinuria. Gangguan ginjal terjadi pada 20–55% kasus HSP. Nefritis HSP dapat menjadi gagal ginjal kronik setelah 20 tahun pada 20% anak. Gejala-gejala yang dapat dijadikan faktor prognostik terjadinya gagal ginjal kronis di kemudian hari, yaitu; gejala awal manifestasi ginjal, laju filtrasi glomerulus setelah 3 tahun, dan proteinuria selama pemantauan. Biopsi ginjal sebaiknya dilakukan untuk menggambarkan kondisi histopatologis dan menentukan prognosis. Nefritis HSP merupakan komplikasi yang berat pada HSP karena dapat menyebabkan kematian.3, 11

Paru–paru

Keterlibatan paru–paru pada HSP merupakan kasus yang jarang. Manifestasi klinis HSP pada paru dapat berupa perdarahan alveolar difus atau pnemonitis interstitial. Prevalensi perdarahan alveolar difus antara 0.8% sampai 5% kasus HSP. Gejala perdarahan alveolar berupa hemoptysis, anemia, dan gambaran radiologi berupa infiltrat atau efusi pleura. Sekitar 27% pasien HSP dengan perdarahan alveolar meninggal.13, 14

Sistem saraf pusat

Vaskulitis pada HSP dapat terjadi pada sistem saraf pusat, gejala yang muncul adalah kejang atau ensefalopati dengan menyingkirkan penyebab lain.3

Skrotum

Pada laki – laki vaskulitis pada skrotum ditandai dengan gejala inflamasi seperti bengkak, nyeri dan kemerahan, kemudian terjadi torsio testis.15

 

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan pada evaluasi derajat beratnya HSP adalah darah rutin, hitung jenis leukosit, laju endap darah, C-reaktif protein (CRP), urinalisis, dan feses darah samar. Hasil pemeriksaan laboratorium yang biasanya didapatkan yaitu leukositosis, trombositosis, anemia ringan serta peningkatan laju endap darah dan CRP. Feses darah samar biasanya positif pada beberapa kasus. Pemeriksaan serum IgA tidak rutin dilakukan karena hasil yang tidak spesifik, peningkatan serum IgA tidak ditemukan pada seluruh pasien HSP. Pemeriksaan penunjang ultrasonografi ataupun barium enema untuk mencari adanya intususepsi diindikasikan pada pasien dengan keluhan nyeri perut atau perdarahan saluran cerna. Pada pemeriksaan ultrasonografi dapat ditemukan target sign sebagai tanda intususepsi, pada pemeriksaan barium enema dapat diketahui lokasi perdarahan gastrointestinal. Biopsi kulit dan biopsi ginjal merupakan pemeriksaan penting untuk diagnosis HSP, terutama pada kasus atipikal atau kasus berat. Hasil biopsi akan menunjukkan deposisi IgA pada jaringan yang terkena. Deposisi IgA pada kulit dapat ditemukan jika biopsy dilakukan 48 jam saat onset penyakit. Gambaran histopatologis biopsi kulit dicirikan dengan infiltrasi neutrofilik pada lapisan atas dan tengah dermis dengan deposisi IgA.3, 4, 16

 

 

DIAGNOSIS

Diagnosis HSP dapat ditegakkan secara klinis, pada tahun 1990 American College of Rheumatology membuat klasifikasi kriteria diagnosis yaitu: onset penyakit usia kurang dari 20 tahun, purpura palpabel, nyeri perut, dan biopsi yang menunjukkan adanya granulosit pada dinding arteri atau vena. Sensitivitas dan spesifisitas kriteria ini adalah 87,1% dan 87,7%. Pada tahun 2005 Pediatric Rhematology European Society (PRES) membuat klasifikasi baru berdasarkan ulasan literatur namun belum tervalidasi.17

     Pada tahun 2008 European League Against Rheumatism dan PRES membuat kriteria diagnosis dengan sensitivitas 100% dan spesifisitas 87%. Kriteria diagnosis ini yaitu; adanya purpura atau ptekia non trombositopenia dengan lokasi predominan di ekstrimitas bawah disertai minimal satu atau lebih gejala berikut:17

1.      Nyeri abdomen difus didefinisikan sebagai nyeri bersifat kolik dan difus dengan onset akut berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik

2.      Biopsi menunjukkan deposit IgA. Gambaran histopatologi menunjukkan vaskulitis leukositoklastik dengan dominan deposit IgA pada kulit atau glomerulonefritis proliferatif dominan deposit IgA

3.      Artritis (akut, pada sendi apapun) atau atralgia. Artritis dapat berupa pembengkakaan sendi atau nyeri sendi dengan gerak terbatas. Atralgia berupa adanya nyeri sendi tanpa ada pembengkakan atau keterbatasan gerak.

4.      Keterlibatan ginjal (hematuria atau proteinuria). Urinalisis menunjukkan protenuria >0,3 g/24 jam atau rasio albumin/kretanin >30 mmol/mg ada urin pagi hari. Hematuria atau sel darah merah >5/lpb atau dipstik > +2 pada dipstik.

 

TATALAKSANA

Tatalaksana HSP meliputi terapi suportif, terapi simptomatik dan pada beberapa kasus memerlukan terapi imunosupresif walaupun sebagian besar HSP dapat sembuh sendiri, dengan waktu resolusi 4-6 minggu. Sepertiga pasien mengalami rekurensi atau relaps. Prinsip utama terapi suportif adalah pemberian hidrasi, mengurangi rasa nyeri dan pemantuan terjadinya komplikasi. 3 Perawatan di rumah sakit diperlukan jika pemantauan melalui rawat jalan tidak dapat dilakukan, hidrasi tidak dapat diberikan secara oral atau pasien mengalami dehidrasi, perdarahan, gejala penurunan fungsi ginjal atau kontrol nyeri membutuhkan perawatan di rumah sakit. Pemantauan saat pasien sudah diperbolehkan pulang dilakukan setiap minggu pada bulan pertama, setiap 2 minggu pada bulan kedua, kemudian setiap bulan pada bulan ke 3 hingga gejala hilang.18, 19

Tatalaksana Manifestasi Klinis HSP Pada Kulit

Prednison dengan dosis 1 mg/kg selama 2 minggu kemudian di tapering off  2 minggu berikutnya diberikan pada pasien dengan manifestasi kulit dan arthritis dilaporkan dapat memberikan perbaikan klinis dibandingkan pasien yang hanya mendapat plasebo. Pemberian prednison harus diberikan hati-hati dengan mengukur efek samping prednison. Prednison dapat menurunkan gejala purpura dalam 1 bulan setelah onset serta menurunkan derajat dan durasi nyeri sendi.20

     Pada kasus manifestasi kulit yang persisten lebih dari 12 bulan atau lebih, pemberian dapson 2 mg/kgbb dilaporkan efektif tatalaksana purpura persisten.21 Dapson diberikan hingga didapatkan perbaikan dari manifestasi kulit. Pada kasus manifestasi kulit berat yaitu purpura disertai bulla, pemberian metilprednisolon pulse 20 mg/kgbb selama 3 hari berturut-turut dilanjutkan azatioprin 2,5 mg/kgbb efektif untuk mengatasi manifestasi kulit berat.22

Tatalaksana Manifestasi Klinis HSP Pada Sendi

Artritis atau atralgia berespon baik terhadap pemberian obat-obatan anti inflamasi non steroid atau asetaminofen. Pemberian anti inflamasi non steroid membutuhkan pemantauan yang baik, karena pemberian obat–obatan anti inflamasi non steroid meningkatkan risiko terjadinya perdarahan gastrointestinal. Pasien dengan fungsi ginjal menurun membutuhkan evaluasi ketat terhadap penggunaan obat-obatan antiinflamasi non steroid.3  Obat anti inflamasi non steroid yang dapat diberikan yaitu ibuprofen 4-10 mg/kg setiap 4-6 jam dengan dosis maksimal 40 mg/kg/hari. Asetaminofen yang diberikan yaitu parasetamol 10-15 mg/kg setiap 4-6 jam dengan dosis maksimal 90 mg/kg/hari.3

Tatalaksana Manifestasi Klinis HSP Pada Gastrointestinal

Penggunaan glukokortikoid untuk mengurangi durasi nyeri abdomen dan menurunkan risiko intususepsi masih menjadi perdebatan. Sebuah kajian sistematik melaporkan pemberian prednison 1−2 mg/kgBB efektif mengurangi nyeri dalam 24 jam setelah pemberian prednison. Pada kasus dengan manifestasi gastrointestinal berat seperti adanya nyeri perut hebat pemberian metiprednisolon dosis tinggi (30 mg/kgbb/hari, maksimal 1 gram) secara intravena selama 3 hari berturut-turut, dilaporkan dapat mengurangi gejala nyeri perut dan memberikan luaran baik pada pasien HSP dengan manifestasi gastrointestinal berat.23  Penggunaan glukokortikoid sejak awal di rumah sakit memberikan luaran yang baik terutama pada manifestasi gastrointestinal HSP.24

     Pada perdarahan gastrointestinal yang berat pilihan terapi seperti intravena imunoglobulin, mikofenolat mofetil ataupun rituximab dapat dipertimbangkan karena telah dilaporkan efektif pada kasus dengan perdarahan gastrointestinal berat. Rituximab dapat diberikan dengan dosis 1 gram secara intravena sebanyak 2 kali dalam 2 minggu. Pemberian golongan opioid seperti morfin atau petidin dapat dipertimbangkan terhadap kasus berat dengan manifestasi nyeri perut hebat.23 Pasien dengan nyeri perut hebat membutuhkan evaluasi dan investigasi mendalam untuk mencari tanda-tanda intususepsi.3

Tatalaksana Manifestasi Klinis HSP Pada Paru-Paru

Tatalaksana keterlibatan interstitial pulmonal atau perdarahan alveolar belum ada pedoman khusus, laporan-laporan kasus yang ada terapi pada keterlibatan paru yang dapat diberikan adalah metilprednisolon pulse selama 3 hari berturut-turut dilanjutkan siklofosfamid oral ataupun intravena.3

Tatalaksana Manifestasi Klinis HSP Pada Ginjal

Pedoman terapi nefritis HSP dari Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) menyebutkan pasien nefritis HSP dengan proteinuria persisten >0.5–1 gr/hari per 1.73m2 mendapat terapi angiotensin converting enzyme – inhibitors (ACE-I) atau angiotensin reseptor blocker (ARB). Pasien-pasien yang telah mendapat ACE–I atau ARB dengan laju filtrasi glomerulus >50 cc/menit per 1.73m2 mendapat terapi sama dengan nefropati imunoglobulin A yaitu kortikosteroid selama 6 bulan. Regimen korikosteroid yang direkomendasikan oleh KDIGO ada 2 macam yaitu :25

1.      Bolus 1 gram metilprednisolon selama 3 hari berturut-turut pada bulan 1, 3, dan 5 dilanjutkan steroid oral 0.5 mg/kg prednison dosis alternatif selama 6 bulan.

2.      Oral prednison selama 6 bulan dimulai dengan 0.8–1 mg/kg/hari selama 2 bulan dan diturunkan 0.2 mg/kg/ hari setiap bulan selama 6 bulan. Terapi pada nefrtitis HSP dengan hasil biopsi ginjal tipe kresenterik, sindroma nefrotik dan atau penurunan fungsi ginjal mendapat terapi yang sama seperti nefropati immunoglobulin A yaitu pemberian steroid dan siklofosfamid.

 

 

Regimen siklofosfamid yang dapat diberikan adalah :25

1.      Siklofosfamid intravena 0,75 gram/m 2 setiap 3–4 minggu. Dosis diturunkan hingga 0.5 gram/m 2 atau GFR < 20 cc/menit per 1.73 m 2 , dosis disesuaikan hingga jumlah lekosit >3000/mm 3 atau Siklofosfamid intravena 15 mg/kg setiap 2 minggu untuk 3 kali , kemudian 15 mg/kg setiap 3 minggu hingga 3 bulan setelah remisi, diberikan bersama metilprednisolon pulse dan oral prednison.

2.      Siklofosfamid oral 1,5–2 mg/kg/hari . Dosis diturunkan hingga 0.5 gram/m 2 atau GFR <20 cc/menit per 1.73 m 2 , dosis disesuaikan hingga jumlah lekosit >3000/mm 3, diberikan bersama metilprednisolon pulse dan oral prednison.

3.      Rituximab 375mg/m 2 setiap minggu sebanyak 4 kali, diberikan bersama metilprednisolon pulse dan oral prednison. KDIGO tidak merekomendasikan penggunaan kortikosteroid untuk mencegah nefritis HSP, sebuah ulasan dari Cohcrane menemukan tidak ada perbedaan yang signifikan pada penyakit ginjal persisten (mikroskopis hematuria, proteinuria, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal) yang mendapat terapi prednison selama 2–4 minggu dibandingkan dengan plasebo. Tidak ditemukan perbedaan signifikan pada risiko terjadinya penyakit ginjal pada bulan ke 6 dan bulan ke 12.

     Plasmafaresis diindikasikan pada pasien dengan glomerulonefritis progresif cepat, walaupun efektifitas terapi ini sulit dinilai karena pasien juga mendapat terapi imunosupresif. Pemberian siklosporin A pada nefritis HSP telah terbukti efektif untuk mempercepat remisi proteinuria dan hasil yang membaik pada biopsi ginjal. Terapi lain yang juga efektif adalah pemberian dengan imunoglobulin intravena, terapi kombinasi antara imunosupresif dengan terapi antiplatelet seperti warfarin, dipiridamol, dan asam salisilat, tindakan tonsilektomi, deplesi sel B dengan rituximab dan mikofenolat mofetil.3

 

PROGNOSIS

Henoch-Schonlein Purpura adalah penyakit yang dapat sembuh sendiri dalam jangka waktu 1 bulan, pada kasus yang ringan hanya membutuhkan terapi suportif. Sekitar 1/3 pasien mengalami rekurensi pada 4 bulan kemudian. Rekurensi lebih sering pada anak usia lebih dari 8 tahun. Pasien HSP ringan dapat ditangani di pelayanan primer oleh dokter umum ataupun dokter spesialis anak. Pasien dengan diagnosis nefritis HSP membutuhkan rujukan ke nefrologis pediatrik sekitar 6–12 bulan setelah diagnosis nefritis HSP. Sekitar 2–20% pasien HSP berkembang menjadi penyakit ginjal permanen.3, 11

 

SIMPULAN

Henoch-schonlein purpura merupakan vaskulitis pada pembuluh darah kecil yang diperantarai oleh IgA. Insidensi nya lebih banyak pada anak daripada dewasa. Penyakit ini dapat sembuh sendiri pada sebagian besar kasus, namun pada komplikasi yang berat dapat menyebabkan kematian. Tatalaksana paripurna diperlukan untuk mencegah remisi di kemudian hari.


 

DAFTAR PUSTAKA

1.      Piram M, Mahr A. Epidemiology of immunoglobulin A vasculitis (Henoch–Schönlein): current state of knowledge. Current opinion in rheumatology. 2013;25(2):171-8.

2.      Pan Y-x, Ye Q, Shao W-x, Shang S-q, Mao J-h, Zhang T, et al. Relationship between immune parameters and organ involvement in children with Henoch-Schonlein purpura. PloS one. 2014;9(12):e115261.

3.      Trnka P. Henoch–Schönlein purpura in children. Journal of paediatrics and child health. 2013;49(12):995-1003.

4.      Kliegman R, Stanton B, Schor N, Behrman R. Nelson Textbook Of Pediatrics, Nineteenth Edition. Kliegman RM, editor. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011.

5.      AkgĂĽn C, Demir N, Ăśstyol L, Akbayram S, Tuncer O. A case of Henoch-Schönlein purpura triggered by wild bee sting. Indian Journal of Allergy, Asthma and Immunology. 2013;27(1):55.

6.      Bataille S, Daumas A, Tasei A-M, Jourde-Chiche N, Dussol B, Burtey S, et al. Vancomycin-induced Henoch-Schönlein purpura: a case report. Journal of medical case reports. 2012;6(1):106.

7.      Park SJ, Suh J-S, Lee JH, Lee JW, Kim SH, Han KH, et al. Advances in our understanding of the pathogenesis of Henoch-Schönlein purpura and the implications for improving its diagnosis. Expert review of clinical immunology. 2013;9(12):1223-38.

8.      Sohagia AB, Gunturu SG, Tong TR, Hertan HI. Henoch-Schonlein purpura—a case report and review of the literature. Gastroenterology research and practice. 2010;2010.

9.      Nagamori T, Oka H, Koyano S, Takahashi H, Oki J, Sato Y, et al. Construction of a scoring system for predicting the risk of severe gastrointestinal involvement in Henoch-Schönlein Purpura. Springerplus. 2014;3(1):171.

10.    Hong J, Yang HR. Laboratory markers indicating gastrointestinal involvement of Henoch-Schönlein purpura in children. Pediatric gastroenterology, hepatology & nutrition. 2015;18(1):39-47.

11.    Davin J-C. Henoch-Schönlein purpura nephritis: pathophysiology, treatment, and future strategy. Clinical Journal of the American Society of Nephrology. 2011;6(3):679-89.

12.    GarcĂ­a JL, Blanco O, Ibáñez MS, LĂłpez PO, MartĂ­n IZ. Outcome of Henoch-Schönlein nephropathy in pediatric patients. Prognostic factors. Nefrologia. 2008;28(6):627-32.

13.    Chen S-Y, Chang K-C, Yu M-C, Asueh S, Ou L-S, editors. Pulmonary hemorrhage associated with Henoch-Schönlein purpura in pediatric patients: case report and review of the literature. Seminars in arthritis and rheumatism; 2011: Elsevier.

14.    Rajagopala S, Shobha V, Devaraj U, D'Souza G, Garg I, editors. Pulmonary hemorrhage in Henoch-Schönlein purpura: case report and systematic review of the English literature. Seminars in arthritis and rheumatism; 2013: Elsevier.

15.    Reid-Adam J. Henoch Schonlein Purpura. Ped in Rev. 2014;35(10).

16.    Ting T. Diagnosis and Management of Cutaneous Vasculitis in Children. Pediatr Clin N Am. 2014;61:321−46.

17.    Ozen S, Pistorio A, Lusan S. EULAR/PRINTO/PRES criteria for Henoch-Schönlein purpura, childhood polyarteritis nodosa, childhood Wegener granulomatosis and childhood Takayasu arteritis. Ann Rheum Dis. 2010;69:798−806.

18.    Reamy BV, Williams PM, Lindsay TJ. Henoch-Schönlein purpura. Am Fam Physician. 2009;80(7):697-704.

19.    Scheinfeld N. Henoch-Schonlein purpura treatment and management.  2014; Available from: http://emedicine.medscape.com/article/984105-treatment#d1

20.    Bluman J, Goldman RD. Henoch-Schönlein purpura in children: Limited benefit of corticosteroids. Canadian Family Physician. 2014;60(11):1007-10.

21.    Iqbal H, Evans A. Dapsone therapy for Henoch-Schönlein purpura: a case series. Archives of disease in childhood. 2005;90(9):985-6.

22.    Trapani S, Mariotti P, Resti M, Nappini L, de Martino M, Falcini F. Severe hemorrhagic bullous lesions in Henoch Schonlein purpura: three pediatric cases and review of the literature. Rheumatology international. 2010;30(10):1355-9.

23.    Kang HS, Chung HS, Kang K-S, Han KH. High-dose methylprednisolone pulse therapy for treatment of refractory intestinal involvement caused by Henoch–Schönlein purpura: a case report. Journal of medical case reports. 2015;9(1):65.

24.    Weiss PF, Klink AJ, Localio R, Hall M, Hexem K, Burnham JM, et al. Corticosteroids may improve clinical outcomes during hospitalization for Henoch-Schönlein purpura. Pediatrics. 2010;126(4):674-81.

25.    KDIGO G. Work Group. KDIGO clinical practice guideline for glomerulonephritis. Kidney inter, Suppl. 2012;2:139-274.

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemeriksaan Mental Emosional Remaja dengan Penyakit Kronik

TERAPI INOTROPIK PADA PENYAKIT JANTUNG ANAK

PENDEKATAN DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA PENYAKIT PARU KRONIK PADA ANAK